Studi UNICEF ungkap 85% merek besar promosikan produk berlebih gula dan lemak kepada anak-anak
PUNGGAWALIFE, JAKARTA – Kementerian Kesehatan bersama UNICEF dan Novo Nordisk mengungkap temuan mengkhawatirkan tentang strategi pemasaran makanan tidak sehat yang menargetkan anak-anak melalui platform digital. Dalam diseminasi hasil kajian yang digelar hybrid pada Kamis (10/7), terungkap bahwa industri makanan dan minuman besar-besaran memanfaatkan media sosial untuk menjangkau konsumen muda.
Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi menyebutkan, krisis obesitas anak di Indonesia semakin memburuk. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat angka yang mencengangkan: hampir seperlima anak usia 5-12 tahun (19,7%) dan 14,3% remaja usia 13-18 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
“Yang lebih memprihatinkan, 97,6% anak usia 5-19 tahun tidak mengonsumsi lima porsi buah dan sayuran per hari sesuai rekomendasi, sementara lebih dari separuh (54,6%) mengonsumsi minuman berpemanis setiap hari,” ungkap Siti Nadia dalam acara tersebut.
Strategi Licik Industri Makanan
Penelitian UNICEF yang menganalisis 295 iklan dari 20 merek makanan dan minuman terkemuka di Facebook, Instagram, dan X (Twitter) memperlihatkan taktik pemasaran yang sistematis. Empat kategori yang diteliti meliputi makanan ringan, makanan olahan, minuman ringan, dan makanan cepat saji.
Nutrition Specialist UNICEF Indonesia David Colozza menjelaskan, hampir seperempat iklan (23,1%) memanfaatkan fitur khas media sosial seperti hashtag dan tagging untuk memperluas jangkauan. Teknik ini memungkinkan konten menyebar dengan cepat di kalangan anak-anak dan remaja.
Strategi lainnya mencakup penampilan produk bermerek secara mencolok (19,6%), penggunaan daya tarik emosional dan unsur kesenangan (10,1%), serta pemanfaatan gambar anak-anak dan remaja (9,0%) untuk menciptakan kesan bahwa produk tersebut “diperuntukkan” bagi mereka.
Tak ketinggalan, 6,9% iklan menggunakan alat bantu interaktif seperti ajakan like, komentar, atau repost untuk meningkatkan keterlibatan. Sementara 6,6% konten menawarkan promosi khusus seperti diskon dan buy one get one (BOGO).
Produk yang Dipromosikan Berbahaya
Analisis menggunakan standar Nutrition Profile Model WHO mengungkap fakta mengejutkan: 85% dari 20 merek besar yang diteliti mempromosikan setidaknya satu produk yang tidak layak dipasarkan kepada anak-anak.
Hampir seluruh produk (96%) mengandung gula total berlebih, dan 100% produk mengandung lemak jenuh melebihi batas aman WHO. Sebanyak 77% produk melampaui batas kandungan lemak total dan natrium, sedangkan seluruh produk mengandung kalori berlebih.
“Konsumsi makanan tinggi gula, lemak, dan garam secara terus-menerus dapat memicu obesitas pada anak, yang dalam jangka panjang akan memicu penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung, bahkan sejak usia muda,” peringatkan David Colozza.
Celah Regulasi Digital
Indonesia dengan 167 juta pengguna media sosial aktif (60,4% populasi) menjadi pasar potensial bagi promosi makanan tidak sehat. Remaja menjadi kelompok paling rentan dengan tingkat penetrasi internet mencapai 99,1% untuk usia 13-18 tahun.
David Colozza mengkritik lemahnya regulasi iklan makanan tidak sehat di Indonesia, terutama dalam pengawasan dan penegakan hukum di media digital. “Kebijakan saat ini belum sepenuhnya mengatur aspek paparan maupun kekuatan pesan promosi,” katanya.
Studi UNICEF menyoroti bahwa anak-anak umumnya tidak menyadari tujuan promosi dalam iklan, sehingga lebih mudah terpengaruh oleh pesan-pesan persuasif. Penggunaan selebritas, ajakan emosional, hingga hadiah terbukti dapat membentuk preferensi makanan dan loyalitas merek dengan dampak jangka panjang.
Rekomendasi Perlindungan Anak
UNICEF dan Novo Nordisk mengajukan empat rekomendasi strategis untuk melindungi anak-anak dari paparan iklan makanan tidak sehat. Pertama, memperkuat regulasi terhadap iklan makanan tidak sehat di platform digital yang menyasar anak-anak.
Kedua, membatasi penggunaan influencer, hadiah, dan teknik persuasi lainnya dalam iklan media sosial. Ketiga, mengembangkan Model Profil Gizi Nasional sebagai standar ilmiah untuk mengidentifikasi produk yang tidak layak dipasarkan kepada anak.
Keempat, meningkatkan kesadaran publik, khususnya di kalangan orang tua dan pengasuh, agar dapat membimbing pola konsumsi anak yang lebih sehat.
Kolaborasi Global Berbuah Hasil
Kemitraan strategis UNICEF dengan Novo Nordisk sejak 2019 telah membuahkan hasil signifikan. Selama 2024, kolaborasi ini menghasilkan 17 produk pengetahuan terkait obesitas anak dan memobilisasi lebih dari 4.000 pengambil kebijakan serta 4.500 remaja dalam kegiatan advokasi.
Dari sisi komunikasi, kemitraan ini menjangkau lebih dari 8,2 juta orang melalui berbagai platform informasi dan kampanye publik. Lebih dari 48.000 anak telah menerima dukungan langsung melalui program intervensi untuk meningkatkan status gizi dan pembentukan perilaku makan sehat.
Dampak kerja sama ini juga meluas ke tingkat global, memperkuat kebijakan pangan dan gizi nasional di Kosta Rika, Malaysia, dan Meksiko yang menjangkau hampir 49 juta anak di bawah usia 19 tahun.