PUNGGAWALIFE, MAKASSAR – Di ujung timur Nusantara, terdapat sebuah kota pelabuhan yang telah menjadi saksi bisu pertemuan berbagai peradaban selama berabad-abad. Makassar, dengan julukan Anging Mammiri (angin yang sejuk), tidak hanya menyimpan keindahan alam pesisir Sulawesi Selatan, tetapi juga menjadi rumah bagi salah satu warisan kuliner terbesar Indonesia—Coto Makassar.
Aroma yang Menari di Udara Pagi
Ketika fajar mulai menyingsing di atas Losari, aroma rempah-rempah mulai mengudara dari berbagai sudut kota. Ini adalah ritual harian yang telah berlangsung puluhan tahun, di mana para pedagang coto mulai menyalakan kompor dan mengaduk kuah cokelat keemasan dalam kuali tanah liat berusia ratusan tahun.
Coto Makassar bukanlah sekadar sup biasa. Ia adalah simfoni rasa yang terlahir dari perkawinan 40 jenis rempah Nusantara yang dikenal dengan sebutan “patang pulo”. Setiap sendok yang menyentuh bibir adalah perjalanan waktu menuju masa lalu, saat para raja Gowa-Tallo menikmati hidangan istimewa ini di istana Somba Opu.
Warisan Sang Raja
Tahun 1538 Masehi, ketika Kerajaan Gowa-Tallo mencapai puncak kejayaannya, coto telah menjadi hidangan favorit di lingkungan keraton. Empat suku besar Sulawesi Selatan—Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar—bersatu dalam satu kerajaan maritim yang menguasai jalur perdagangan rempah-rempah Nusantara menuju Eropa.
Para dayang istana dengan cermat meracik bumbu-bumbu pilihan: kemiri yang dihaluskan hingga seperti mentega, cengkeh yang mengharumkan udara, lengkuas yang memberikan kehangatan, dan merica yang menggigit lidah dengan lembut. Semua bahan ini dimasak dalam kuali tanah liat khusus yang disebut “korong butta”—wadah suci yang dipercaya mampu menyerap dan menyimpan cita rasa selama berjam-jam.
Pelabuhan Rasa Dunia
Makassar pada abad ke-14 hingga ke-17 adalah jantung perdagangan Asia Tenggara. Kapal-kapal dari Spanyol dan Portugis berlabuh membawa emas dan perak, sementara pedagang dari Gujarat, Coromandel, Bengal, Arab, Persia, hingga Tiongkok datang membawa sutra, porselen, dan rempah-rempah eksotis.
Pertemuan budaya ini tidak hanya terjadi di pelabuhan, tetapi juga di dapur-dapur rumah penduduk. Teknik memasak Arab yang menggunakan santan kental bertemu dengan tradisi India yang kaya rempah. Pengaruh Tiongkok hadir melalui penggunaan tauco dalam sambal, sementara jejak Timur Tengah terasa dari campuran kayu manis, pala, dan jintan yang menghangatkan.
Dari akulturasi budaya inilah lahir coto yang kita kenal hari ini—sebuah mahakarya kuliner yang merefleksikan keragaman peradaban yang pernah singgah di tanah Bugis-Makassar.
Ritual dalam Mangkuk Kecil
Ada filosofi mendalam di balik cara penyajian coto Makassar. Hidangan ini tidak dikonsumsi sebagai makanan utama, melainkan sebagai “makanan hati” yang dinikmati di antara waktu-waktu sibuk, sekitar pukul 09.00 hingga 11.00 WIB. Waktu ini dipilih bukan tanpa alasan—saat matahari mulai tinggi dan aktivitas mulai padat, tubuh membutuhkan asupan energi yang cukup untuk menjalani hari.
Coto disajikan dalam mangkuk kecil dari tanah liat, ditemani sendok bebek yang melengkung sempurna untuk mengambil potongan daging dan jeroan. Di sampingnya, selalu ada ketupat putih bersih atau buras yang dibungkus daun pisang, serta sambal tauco yang pedas menggigit—perpaduan sempurna yang menciptakan harmoni rasa di mulut.
Keajaiban Nutrisi dalam Tradisi
Meski terlihat sederhana, coto Makassar adalah hidangan yang kaya nutrisi. Daging sapi memberikan protein berkualitas tinggi, sementara jeroan seperti hati, jantung, limpa, dan babat menyumbang zat besi, vitamin B kompleks, dan mineral penting lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa satu porsi coto mampu memenuhi 60-70 persen kebutuhan gizi harian.
Yang lebih menakjubkan, nenek moyang Makassar telah memahami prinsip food combining jauh sebelum ilmu nutrisi modern berkembang. Rempah-rempah yang digunakan bukan hanya untuk cita rasa, tetapi juga berfungsi sebagai detoksifikasi alami yang menetralisir potensi kolesterol tinggi dari jeroan. Pepaya muda yang ditambahkan dalam proses memasak mengandung enzim papain yang membantu melunakkan protein dan mempermudah pencernaan.
Dari Korong Butta ke Panggung Dunia
Pada tahun 2011, coto Makassar membuktikan kehebatannya di tingkat internasional. Dalam Festival Kuliner “Pesta Juadah 2011” di Universitas Kebangsaan Malaysia, hidangan yang lahir dari kuali tanah liat ini berhasil mengalahkan 34 peserta dari berbagai negara. Kemenangan ini bukan sekadar prestasi kuliner, tetapi juga pengakuan dunia terhadap kekayaan warisan budaya Indonesia.
Filosofi Rasa yang Abadi
Coto Makassar mengajarkan kita tentang kesabaran. Proses memasaknya tidak bisa terburu-buru—daging harus direbus berjam-jam hingga empuk, bumbu harus ditumis dengan api kecil agar tidak gosong, dan kuah harus diaduk perlahan agar semua rasa menyatu sempurna.
Hidangan ini juga mengajarkan tentang kebersatuan. Seperti kerajaan Gowa-Tallo yang menyatukan empat suku dalam satu ikatan, coto menyatukan berbagai bahan yang berbeda—daging, jeroan, rempah, dan sayuran—menjadi satu kesatuan rasa yang harmonis.
Masa Depan Tradisi
Di era modern ini, coto Makassar terus berkembang tanpa kehilangan esensinya. Warung-warung coto tradisional masih setia menggunakan kuali tanah liat dan resep turun-temurun, sementara restoran modern mulai mengadaptasi penyajiannya dengan tetap mempertahankan keaslian rasa.
Para pemuda Makassar kini mulai bangga memperkenalkan coto kepada wisatawan mancanegara, menceritakan sejarah dan filosofi di balik setiap suapan. Mereka paham bahwa coto bukan sekadar makanan, tetapi juga identitas budaya yang harus dilestarikan.
Jejak Rasa yang Tak Terlupakan
Ketika senja mulai turun di Pantai Losari dan angin laut bertiup sepoi-sepoi, aroma coto masih tercium samar dari berbagai penjuru kota. Bagi orang Makassar, coto bukan sekadar makanan—ia adalah rumah, adalah identitas, adalah kebanggaan.
Setiap tegukan kuah hangatnya membawa kita kembali ke masa lalu yang agung, mengingatkan kita pada leluhur yang telah mewariskan kekayaan kuliner tak ternilai ini. Dan dalam setiap suapan daging yang lembut bersama ketupat yang pulen, kita merasakan cinta yang telah dipupuk selama berabad-abad—cinta pada tanah air, pada tradisi, dan pada warisan nenek moyang yang tak akan pernah pudar.
Coto Makassar adalah puisi rasa yang ditulis dalam mangkuk tanah liat. Ia adalah bukti bahwa kuliner terbaik lahir bukan dari kemewahan, tetapi dari hati yang tulus dan tangan yang penuh kasih sayang. Dan seperti kata pepatah Bugis-Makassar: “Rupa tau riolo, na makanja rupa tau ri boko”—seperti orang dulu, begitulah cara orang kemudian. Tradisi coto akan terus hidup, dari generasi ke generasi, membawa serta cerita, rasa, dan cinta yang tak akan pernah berubah.
Penasaran dengan kelezatannya? Ini dia resepnya!
Bahan:
400 gr daging sapi
400 gr jeroan sapi
Air untuk merebus
1 sdt garam
6 sdm minyak goreng
4 batang serai bagian putih, memarkan
4 cm lengkuas, memarkan
2 cm jahe, memarkan
4 lembar daun salam
Bumbu, haluskan:
12 siung bawang putih
8 butir kemiri sangrai
2 sdm ketumbar sangrai
¾ sdt jintan sangrai
1½ sdt merica
50 gr kacang tanah sangrai
Sambal Tauco:
5 butir bawang merah
2 siung bawang putih
5 buah cabai merah keriting
5 sdm taoco
4 sdm minyak goreng
1 sdm gula pasir
Pelengkap:
2 sdm bawang goreng
2 sdm daun bawang iris
1 sdm seledri iris
Jeruk nipis
Buras, potong-potong
Cara membuat:
Rebus daging dan jeroan secara terpisah dalam air secukupnya, bubuhkan garam. Setelah matang, ukur kaldu daging sebanyak 2 lt. Buang kaldu jeroan.
Potong-potong daging dan jeroan bentuk dadu 1,5 cm, lalu masukkan ke dalam panci kaldu. Masak di atas api sedang.
Panaskan minyak dalam wajan, tumis bumbu halus, masukkan serai, lengkuas, jahe, dan daun salam, aduk hingga berbau harum, angkat.
Masukkan bumbu tumis ke dalam panci kaldu, didihkan, lalu kecilkan apinya. Teruskan memasak hingga bau langunya hilang dan cairannya tinggal ± 1.5 lt.
Sambal taoco: Gerus bawang merah, bawang putih, dan cabai merah hingga halus, masukkan taoco, aduk. Panaskan minyak dalam wajan, tumis sambal hingga harum, tambahkan gula, aduk hingga matang, angkat.
Penyajian: Taruh coto dalam mangkuk saji, tambahkan bahan pelengkap sesuai selera. Sajikan selagi panas bersama sambal taoco.